
Berbagi praktik baik ini terus tumbuh dan menginspirasi rekan-rekan pendidik lainnya. Di tengah dinamika pendidikan abad ke-21 yang menuntut transformasi mendalam dalam proses pembelajaran, kita dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menciptakan pembelajaran yang tidak hanya informatif, tetapi juga bermakna bagi siswa. Pembelajaran bermakna adalah inti dari pendidikan masa kini. Ia menuntut keterlibatan aktif peserta didik dalam memahami, mengolah, dan menerapkan pengetahuan secara kontekstual, bukan sekadar menghafal. Artikel ini hadir sebagai refleksi sekaligus tawaran solusi inovatif dalam mengatasi salah satu persoalan klasik dalam pembelajaran Biologi khususnya ketika siswa mengalami kesulitan memahami konsep sistem organ tubuh manusia.
Di kelas, banyak guru menemukan bahwa siswa kesulitan memahami konsep-konsep yang sifatnya abstrak dan kompleks, salah satunya sistem ekskresi dan mekanisme pembentukan urin. Mereka kerap bingung bagaimana ginjal dapat menyaring darah, apa saja tahap pembentukan urin, dan bagaimana sistem tersebut bekerja secara terintegrasi dalam tubuh. Penjelasan melalui teks dan gambar di buku pelajaran sering kali tidak cukup untuk membangun pemahaman mendalam. Alhasil, siswa cenderung menghafal alur proses tanpa benar-benar memahami mekanismenya.
Selain itu, ada jarak yang cukup lebar antara materi yang diajarkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa. Konsep seperti sistem ekskresi terasa jauh dari pengalaman mereka. Padahal, sistem ini sangat relevan dalam kehidupan, seperti pentingnya minum air putih, mengenali gejala gangguan ginjal, hingga pemahaman tentang pentingnya menjaga kesehatan organ tubuh. Ketika siswa tidak bisa menghubungkan materi dengan pengalaman konkret, motivasi dan minat belajar mereka pun menurun. Ini menjadi tantangan besar, terlebih di era sekarang yang menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kita juga perlu menyadari bahwa pembelajaran abad ke-21 menuntut lebih dari sekadar pemahaman konsep. Siswa perlu dilatih untuk berpikir kritis dalam menganalisis permasalahan, kreatif dalam menemukan solusi, inovatif dalam merancang produk, dan mampu bekerja sama dalam tim. Sayangnya, dalam praktiknya, kemampuan-kemampuan ini masih rendah karena model pembelajaran di kelas belum memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan potensi tersebut.
Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) melalui Project-based Learning (PjBL) menjadi salah satu solusi yang layak dicoba. Pendekatan ini menekankan keterpaduan antar-disiplin ilmu dan menyajikan pembelajaran melalui proyek yang berbasis permasalahan nyata. Dalam konteks pembelajaran sistem organ, pendekatan ini dapat menjadi jembatan antara konsep yang abstrak dengan pengalaman konkret siswa.
Dalam penerapannya di kelas, guru mengajak siswa untuk membuat alat sederhana yang dapat memvisualisasikan mekanisme pembentukan urin. Proyek ini dirancang sedemikian rupa agar merepresentasikan proses filtrasi, reabsorpsi, dan augmentasi yang terjadi di ginjal. Siswa bekerja secara kolaboratif dalam kelompok, memecahkan masalah bersama, melakukan eksperimen, dan mendiskusikan hasilnya. Dalam proses ini, mereka tidak hanya belajar IPA, tetapi juga menerapkan teknologi sederhana, memahami prinsip rekayasa, dan menggunakan keterampilan matematika dalam pengukuran dan analisis.
Proyek ini tidak hanya menarik, tetapi juga sangat efektif. Siswa terlibat aktif karena merasa memiliki peran dalam proses pembelajaran. Mereka penasaran, bertanya, mencoba, dan bahkan memperbaiki desain alat mereka agar lebih representatif. Keterlibatan ini secara langsung menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas yang selama ini sulit muncul dalam pembelajaran konvensional.
Manfaat dari pendekatan ini sangat terasa. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa benar-benar memahami proses yang mereka pelajari, bukan sekadar mengingat. Mereka bisa menjelaskan kembali bagaimana urin terbentuk dan mengapa proses tersebut penting dalam menjaga homeostasis tubuh. Lebih dari itu, keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis dan kolaboratif juga meningkat. Siswa belajar menyusun argumen, mendiskusikan ide, menyelesaikan konflik dalam kelompok, dan mempresentasikan hasil kerja mereka dengan percaya diri.
Dampaknya, suasana kelas berubah. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, melainkan fasilitator yang membimbing proses eksplorasi siswa. Sementara itu, siswa menjadi pembelajar aktif yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Ini adalah bentuk transformasi pembelajaran yang sesungguhnya: dari teacher-centered menuju student-centered learning.
Melalui pengalaman ini, kita belajar bahwa inovasi dalam pembelajaran bukanlah hal yang mewah atau sulit dilakukan. Inovasi bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengubah pendekatan dari ceramah ke proyek kolaboratif, dari menghafal ke eksplorasi. Dan ketika siswa merasakan bahwa apa yang mereka pelajari itu bermakna dan relevan, maka pembelajaran akan berlangsung secara alami, menyenangkan, dan membekas.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali peran kita sebagai guru. Di era yang terus berubah ini, kita ditantang untuk terus belajar dan berinovasi. Sistem organ mungkin terdengar kompleks, tetapi dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membawanya lebih dekat dan lebih nyata bagi siswa. Pendekatan STEM-PjBL bukanlah satu-satunya cara, tetapi ia telah terbukti mampu menjawab tantangan pembelajaran abad ke-21. Maka, mengapa tidak kita coba juga di materi lain yang menantang?
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu yang terus bersemangat dalam berbagi dan belajar. Semoga praktik baik ini bisa menjadi inspirasi, dan kita bisa terus berkolaborasi untuk menghadirkan pendidikan yang bermakna bagi generasi penerus bangsa.
Penulis : Sarini Rahayu, S.Pd M.Pd, Guru SMA Tunas Patria Ungaran